#KaburAjaDulu: Dari Keluhan Menuju Perbaikan

Oleh: Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si

BARU-BARU ini, tagar #KaburAjaDulu ramai di media sosial. Tagar tersebut mencerminkan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia. Banyak warganet yang berbagi informasi mengenai peluang kerja di luar negeri, membandingkan standar hidup, hingga membahas cara-cara bermigrasi demi kehidupan yang lebih baik. Fenomena ini seolah menjadi respons terhadap dinamika ekonomi, ketidakpastian politik, serta kesenjangan sosial yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.

Tentu, harapan untuk mendapatkan jaminan kehidupan lebih baik adalah naluri manusiawi. Apalagi kita dihadapkan pada realitas kehidupan ekonomi yang semakin berat. Pendapatan stagnan, bahan kebutuhan pokok kian mahal. Ditambah lagi jika menjadi korban PHK massal.

Namun, apakah pergi ke luar negeri merupakan solusi terbaik? Jika mau jujur, sebetulnya belum tentu. Sejatinya tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar menjamin stabilitas abadi. Negara-negara maju yang kerap dijadikan tujuan migrasi, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia, sebenarnya juga menghadapi tantangan ekonomi dan politik yang kompleks. Resesi, perubahan kebijakan imigrasi, ketidakpastian politik dan krisis ekonomi global dapat mengubah banyak hal dalam waktu singkat.

Jepang dapat menjadi salah satu contoh. Sebuah negara yang sering dianggap sebagai negara dengan ekonomi kuat dan kualitas hidup tinggi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Jepang menghadapi masalah penuaan populasi, stagnasi ekonomi, dan perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang makin ketat bagi pekerja asing. Di Amerika Serikat, kenaikan biaya hidup dan ketidakpastian visa kerja menjadi hambatan bagi banyak imigran. Sementara di Eropa, kebijakan imigrasi semakin diperketat akibat dinamika geopolitik.

Artinya, pindah ke luar negeri bukanlah jaminan bahwa hidup akan lebih mudah. Bahkan, tidak sedikit pekerja migran Indonesia yang akhirnya menghadapi realitas pahit, mulai dari eksploitasi tenaga kerja, kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian, hingga keterasingan dalam budaya yang berbeda. Tidak semua cerita hidup di luar negeri merupakan kisah manis.

Tidak Semudah yang Dibayangkan

Tinggal di negara lain bukan hanya soal mendapatkan penghasilan lebih tinggi atau menikmati fasilitas yang lebih baik. Faktor budaya, bahasa, dan cara hidup juga berperan besar dalam menentukan kenyamanan seseorang di luar negeri. Tidak semua orang bisa betah tinggal jauh dari keluarga, menghadapi musim dingin ekstrem, atau beradaptasi dengan ritme kerja yang sangat berbeda.

Sebagai contoh, beberapa orang yang merantau ke negara maju sering kali mengalami culture shock. Di Jepang dan Korea Selatan, misalnya, budaya kerja yang menuntut kedisiplinan tinggi dan jam kerja panjang bisa menjadi beban mental yang luar biasa bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan fleksibilitas. Di Eropa dan Amerika Serikat, sistem sosial yang lebih individualistis bisa membuat sebagian besar orang Indonesia merasa kesepian dan kehilangan dukungan emosional yang biasa didapatkan dari keluarga dan komunitas.

Banyak juga pekerja migran yang akhirnya pulang karena merasa kehidupan di luar negeri tidak seindah yang dibayangkan. Pada akhirnya, uang dan karier bukanlah satu-satunya parameter kebahagiaan. Kenyamanan hidup juga datang dari aspek sosial, budaya, dan spiritual yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita di Indonesia.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi Indonesia sedang penuh tantangan. Kesenjangan sosial, harga kebutuhan pokok yang meningkat, dan lapangan kerja yang terbatas menjadi faktor yang membuat banyak orang merasa frustrasi. Namun, di tengah keterbatasan itu, kita sering kali lupa bahwa ada banyak orang Indonesia yang sukses di tanah air.

Ada pengusaha muda yang membangun bisnis dari nol, profesional yang berkembang di industri kreatif, hingga inovator di bidang teknologi yang mampu bersaing di level global. Mereka adalah bukti bahwa kesuksesan tidak hanya bisa diraih dengan “kabur” ke luar negeri, tetapi juga dengan membangun karya di negeri sendiri.

Mungkin, yang perlu kita ubah bukan hanya tempat tinggal, tetapi cara kita mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman. Daripada sekadar mencari kesempatan di luar negeri, tidak ada salahnya kita lebih serius dan fokus mengasah keterampilan, membangun jejaring, dan memperdalam spesialisasi keahlian. Dengan bekal tersebut, kita bisa menjadi lebih kompetitif, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkembang. Ekonomi digital tumbuh pesat, industri kreatif semakin diakui dunia, dan berbagai sektor bisnis mulai mengadaptasi teknologi untuk menciptakan peluang kerja baru. Namun, potensi ini sering kali tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena banyak orang lebih memilih untuk pergi daripada mencari solusi di dalam negeri.

Fokus Pada Perbaikan

Fenomena #KaburAjaDulu pada dasarnya adalah cerminan dari kegelisahan masyarakat terhadap kondisi yang ada. Namun, sebelum memutuskan untuk meninggalkan Indonesia, ada baiknya kita berkontemplasi dan bertanya pada diri sendiri, apakah benar pergi ke luar negeri adalah satu-satunya solusi? Apakah kita sudah memiliki rencana yang matang, termasuk kesiapan mental dan keterampilan untuk bersaing di lingkungan baru? Mengapa ada banyak orang yang tetap sukses di Indonesia? Apa yang bisa kita pelajari dari mereka?

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita masing-masing. Jika memang ingin mencoba tantangan di luar negeri, pastikan itu dilakukan dengan perencanaan matang dan bukan hanya sebagai pelarian. Namun, jika ingin tetap bertahan di Indonesia, kondisi ekonomi bukanlah satu-satunya tantangan, melainkan bagaimana kita bisa terus berkembang dan menciptakan peluang di tengah keterbatasan.

Tentu, sebagian besar dari kita setuju, bahwa negara ini harus lebih baik. Pemerintah harus lebih memperhatikan nasib rakyat terutama kelas bawah dan menengah. Mereka harus bekerja lebih keras mencari solusi atas berbagai persoalan ekonomi. Kita juga perlu memberi kritik untuk perubahan. Namun, di level pribadi, kita juga perlu mengubah keluhan menjadi tindakan perbaikan. ***

Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia

Komentar