TASIKMALAYA, (TUGU BANDUNG ID).- Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu momen perayaan yang dinantikan oleh para kaum nahdliyin untuk menyongsong abad kedua.
Dalam menyambut hari jadi yang cukup sakral berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), tetap semangat kebesaran menjaga dan merawat keislaman di Indonesia. Ada tema khusus untuk menyambut satu abab ini, yakni Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru.
Tema itu juga berdasar pada pandangan hadits Rasulullah SAW tentang lahirnya pembaharu di setiap satu abad. Dimana Harlah itu rencananya digelar pada puncaknya di Stadion Delta Sidoarjo pada Selasa (7/2/2023). Akan dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin.
Seniman dan budayawan yang juga putra tokoh NU Tasikmalaya, Acep Zam Zam Noor menyebut, satu abad bukan waktu yang sebentar dan ini merupakan proses yang sangat lama. Mudah-mudahan di Harlah Satu Abad ini kedepan NU bisa semakin bisa melaksanakan visi misinya.
Menurutnya, sekarang juga sebenarnya, sudah mulai berlangsung, bagaimana menjaga keindonesiaan, bagaimana menjaga kebersamaan kita ini.
“Saya pikir Indonesia ini tanpa NU akan kacau, jadi salah satu yang membuat Indonesia bisa merekat kebersamaan. Dari ribuan pulau, dari suku bangsa, dari ribuan tradisi dan menurut saya yang paling depan adalah NU yang bisa menyatukan itu,” kata Acep saat ditemui usai acara Imlek bersama di Plaza Asia, Kota Tasikmalaya, Minggu (29/1/2023).
Mengenai generasi milenial yang cenderung lebih menonjolkan kemajuan jaman dan teknologi saat ini, menurut Acep, NU itu tradisi. Sehingga para generasi sekarang itu harus tetap merawat tradisi NU yang masih terpelihara.
“Jadi menurut saya, generasi sekarang itu harus melek pada tradisi bagaimana tradisi NU ini masih kita perlihara. Tradisi spiritnya dan prakteknya,” katanya.
“Juga, bahwa kemajuan teknologi silahkan diikuti dan itu suatu keharusan. Tapi juga jangan melupakan tradisi, karena tradisi ini ruh nya dari NU,” sambung Acep.
Disinggung generasi muda saat ini terlebih para milenial yang sudah mulai luntur terhadap tradisi yang turun temurun dipegang teguh para leluhur NU. Acep mengungkapkan, bahwa hal itu perlu strategi. Sebab menghadapi derasnya budaya asing pada era kini sangat berat dan sulit dibendung.
“Nah ini harus ada stategi, dan saya pikir juga ini mungkin agak berat. Tapi barangkali mayoritas NU itu ada di kampung-kampung, di pesantren-pesantren, di masjid-masjud dan itulah yang sebenarnya masih bisa kita harapkan, dan itulah sebenarnya medan NU,” ujarnya.
Sementara ketika memegang teguh tradisi para leluhur, maka kerap terlontar sebutan kiai kobong atau ajengan kampung. Sehingga ada upaya bahwa ajengan yang sukses itu harus hijrah ke kota.
“Ya itu sebenarnya jangan di kota kan, mereka tetap dengan karakternya, yang kampung itulah justru yang jadi kekuatan NU. Ketika di kota kan atau menjadi orang kota, ya itu malah berubah mereka,” ujarnya.
“Jadi bukan kita menolak kemajuan, tapi bagaimana pun itu menjadi spirit, menjadi ruh. Bangsa-bangsa yang maju yaitu bangsa yang memegang dan mempraktekan tradisinya, menjaga tradisinya,” pungkas Acep.***
Komentar