TUGUBANDUNG.ID – Komunikasi Sains harus terus dikembangkan di negeri ini. Penyampaian keilmuan sains secara mudah kepada masyarakat dengan beragam latar belakang pada akhirnya akan bermuara pada pengambilan keputusan yang tepat dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Membuat sains dapat dipahami oleh publik dapat menghilangkan disorientasi yang ada di masyarakat dan membawa kepercayaan di masa depan. Oleh karena itu, sains harus terbuka, dapat dipahami, dan dapat diakses oleh publik, alih-alih bersembunyi di balik pintu kantor riset dan laboratorium universitas. Sains perlu dikomunikasikan dengan semua orang dalam bahasa yang dapat dimengerti dan dapat diakses.
Benang merah tersebut mengemuka pada pada Webinar “’Science Communication’: Mengefektifkan Komunikasi di Kelas Sains” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesia (LPPM UPI), Sabtu 23 April 2022.
Hadir sebagai narasumber pengajar di Northwestern University in Qatar Dr. Anto Mohsin serta pengajar FPMIPA UPI Dr. Diana Rochintaniawati dengan Moderator Ilhamdaniah Saleh, Ph.D. (FPTK UPI). Webinar dibuka oleh Ketua LPPM UPI Prof Dr Dadang Sunendar, M.Hum dan Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan Pendidikan, Humaniora, Sains, dan Teknologi Prof. Topik Hidayat, M.Si., Ph.D.
Dalam prosesnya, menurut Anto Mohsin, komunikasi sains jangan dipandang sebagai satu arah tapi berjalan secara interaktif. “Sebagai bagian dari edukasi publik terhadap sains, di negara-negara maju komunikasi sains sudah berkembang dan menjadi disiplin ilmu tersendiri sampai pada taraf pascasarjana,” ungkapnya.
Ia menambahkan komunikasi sains diperlukan karena berbagai hal. Selain untuk berbagi penumuan sains, komunkasi sains akan berdampak pada peningkatan apresiasi pada sains, pengetahuan di bidang tertentu.. “Dan yang sangat penting, komunikasi sains diperlukan dalam mempengaruhi opini dan kebijakan publik, untuk berkomunikasi dengan beragam publik sehingga perspektif mereka dapat dipertimbangkan dalam memecahkan masalah,” kata Anto menguraikan.
Artinya, komunikasi sains tak sekadar menjadi sarana edukasi dan memberikan informasi kepada audiens tertentu, mendidik dan menghibur audiens, tapi juga meningkatkan literasi sains kepada khalayak yang lebih luas. “Oleh karena itu, komunikasi sains sama pentingnya dengan praktik sainsnya itu sendiri. Jadi tidak cukup mengerjakan sains atau iptek tapi juga bagaimana mengkomunikasikannya,” katanya.
Sementara itu, Diana Rochintaniawati yang banyak terlibat dalam riset penyampaian pendidikan sains kepada audiens khususnya siswa dan guru di sekolah menjelaskan tidak ada pendekatan tertentu atau khusus dalam soal mengkomunikasikan sains. “Hal ini disebabkan audiens juga beragam kemudian alasan penyampaian keilmuan sains itu juga berbeda-beda. Maka, seringkali kemudian kita harus menyesaikan konteks dan kondisi yang ada. Dalam science process skill atau SPS memang ada aspek komunikasi di dalamnya,” kata Diana.
Diseminasi sains
Pada sambutannya, Dadang Sunendar menegaskan sebagai bagian dari kewajiban ilmiah, guru dan dosen harus dapat menjalankan diseminasi sains. Tak hanya pada lingkup pembelajaran di kelas tapi juga menjangkau publik yang lebih luas. “Ini tantangan tapi menjadi bagian penting dalam ikut mendidik dan memberdayakan masyarakat,” ucapnya.
Terlebih, menurut Dadang, hasil Survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan hal yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan program yang digagas oleh the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut, kemampuan matematika, sains, dan membaca pada anak Indonesia berada di peringkat rendah.
“Untuk matematika, Indonesia berada di peringkat 75 dari 81 negara dunia, dengan skor 379. Untuk sains skornya 396. Sangat jauh dibandingkan negara ASEAN lain seperti Singapura yang menduduki peringkat 2, dengan skor 569. Hasil PISA juga menunjukkan bahwa hanya 29% siswa Indonesia yang mencapai setidaknya level 2 untuk matematika,” katanya menguraikan.
Rentang penilaian dalam PISA tersebut 200 s.d 800. Dengan passing grade di angka 400. “Negara-negara maju itu ada di atas 500. Jadi, kalau kita hanya 379 dan 396 artinya tidak lulus. Hal ini harus membuat kita terpacu meningkatkan literasi membaca, sains, dan matematika. Tema komunikasi sains pada webinar ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari upaya mendorong literasi tersebut,” kata Dadang Sunendar.
Mengutip Roman Osipovich Jakobson, teori komunikasi yang paling sederhana menegaskan bagaimana agar pesan yang disampaikan diterima dengan baik oleh penerima pesan. “Persoalannya ada pada kanal komunikasi, ini yang menjadi pekerjaan kita. Bagaimana keilmuan sains dapat diterima oleh peserta didik atau khalayak awam. Bukankah komunikasi juga menjadi salah satu dari empat sebagai kompetensi yang diperlukan di abad ke-21, selain kolaborasi, berpikir kritis, dan kreativitas,” ujarnya.
Topik Hidayat menjelaskan webinar tentang komunikasi sains ini menjadi kelanjutan dari serial webinar sebelumnya. “Kalau sebelumnya temanya tentang komunikasi sains bagi para peneliti kali ini adalah bagaimana berkomunikasi efektif ihwal sains kepada stakeholder. Bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan di ruang kelas sains. Dalam skala yang lebih luas, bagaimana mengkonkretkan hal-hal abstrak sehingga dapat lebih mudah dipahami siswa, mahasiswa, dan bahkan masyarakat secara luas,” katanya.***