Oleh : Dr. Ijang Faisal, M.Si
Rencana kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Keuangan memangkas Transfer Keuangan Daerah (TKD) dari Rp919 triliun menjadi Rp693 triliun pada APBN 2026 memunculkan kegelisahan mendalam di banyak daerah. Bagi pemerintah provinsi, kebijakan ini bukan sekadar soal berkurangnya angka dalam tabel anggaran, melainkan soal keberlanjutan fungsi koordinatif negara di tingkat daerah.
Provinsi bukan entitas otonom penuh, tetapi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Di pundaknya melekat tanggung jawab menjaga keterpaduan kebijakan lintas kabupaten/kota, mengawal tata ruang wilayah, pendidikan menengah, hingga mitigasi bencana. Maka, ketika pusat justru memangkas dukungan fiskal, sejatinya negara sedang mengikis kekuatannya sendiri.
Keadilan Fiskal dan Ancaman Sentralisasi Baru
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menegaskan prinsip keadilan, pemerataan, dan akuntabilitas dalam alokasi dana transfer. Pasal 4 ayat (1) menyebutkan, pemerintah pusat wajib menyalurkan dana transfer sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.
Artinya, selama provinsi masih memegang fungsi dekonsentrasi, maka secara hukum dan moral, pusat tetap memiliki tanggung jawab fiskal. Mengurangi dana tanpa meninjau ulang pembagian urusan justru akan menciptakan ketimpangan baru: provinsi dibebani tanggung jawab negara, tetapi kehilangan daya untuk menjalankannya.
Di titik ini, kita melihat paradoks: di satu sisi, negara berbicara tentang pemerataan pembangunan dan sinergi lintas wilayah; di sisi lain, ia memangkas sumber daya bagi penggerak koordinasi itu sendiri. Pemangkasan TKD juga menandai munculnya gelombang baru sentralisasi fiskal. Jika tren ini terus berlanjut, desentralisasi yang lahir dari semangat reformasi 1998 bisa tergerus secara perlahan. Reformasi menghendaki agar daerah punya ruang menentukan nasibnya sendiri, namun kini logika fiskal bergerak berlawanan arah.
Sentralisasi yang dibungkus dengan jargon “efisiensi” berisiko melahirkan pemerintahan daerah yang lemah, hanya berfungsi sebagai pelaksana teknis, bukan pengambil keputusan yang berorientasi rakyat. Padahal otonomi sejati adalah kemandirian, bukan ketergantungan.
Provinsi berada di posisi strategis tapi sulit. Ia harus menjadi simpul koordinasi lintas daerah, namun tanpa sokongan fiskal yang memadai, fungsinya bisa lumpuh. Ruang gerak provinsi dalam menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga terbatas, tidak seperti kabupaten/kota yang memiliki sumber pajak dan retribusi langsung dari aktivitas ekonomi lokal.
Pemangkasan dana transfer bagi provinsi bukan hanya melemahkan kapasitas birokrasi, tapi juga berpotensi menimbulkan governance gap antar-daerah. Ketika koordinasi antarwilayah melemah, pembangunan akan berjalan parsial, saling tumpang tindih, dan tidak efisien. Negara yang kehilangan keseimbangan antara pusat dan daerah sejatinya sedang kehilangan arah koordinasi pembangunan nasional.
Inovasi Daerah sebagai Jalan Kemandirian Otonomi
Namun di sisi lain, kebijakan ini bisa menjadi momentum refleksi bagi kabupaten dan kota. Sudah lebih dari dua dekade otonomi daerah berjalan, tetapi sebagian besar daerah masih bergantung pada transfer pusat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, lebih dari 490 dari 546 daerah di Indonesia memiliki PAD di bawah 20 persen dari total APBD.
Artinya, kemandirian fiskal daerah masih rendah. Banyak daerah masih memandang dana pusat sebagai “nafkah utama”, bukan insentif untuk tumbuh. Padahal esensi otonomi bukan pada banyaknya dana yang diterima, tetapi pada sejauh mana pemerintah daerah mampu memanfaatkan potensi lokal untuk kesejahteraan warganya.
Banyuwangi bisa menjadi contoh inspiratif: daerah ini mengembangkan pariwisata berbasis budaya tanpa bergantung besar pada APBN. Sragen membangun layanan publik berbasis digital yang efisien. Bantaeng mengoptimalkan dana daerah untuk menumbuhkan wirausaha lokal. Otonomi daerah bukan proyek administratif, melainkan ujian kreativitas dan kepemimpinan publik.
Lebih jauh, persoalan fiskal ini mencerminkan gejala demokrasi yang kehilangan keseimbangannya. Demokrasi kita sering kali berhenti pada euforia pemilihan langsung, tetapi abai pada fungsi pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (checks and balances).
Kebijakan besar seperti pemangkasan TKD mestinya tidak lahir dari ruang tertutup. Publik, akademisi, dan parlemen daerah harus dilibatkan dalam proses perumusan dan evaluasi. Demokrasi fiskal menuntut transparansi dan partisipasi, bukan hanya prosedur teknokratis. Tanpa itu, kita hanya menjalankan demokrasi formal yang miskin substansi—negara demokratis yang masih berpikir sentralistik.
Kini saatnya membangun paradigma baru hubungan pusat–daerah. Pemerintah provinsi perlu memperkuat perannya sebagai bridging institution, penghubung antarwilayah yang mendorong integrasi program dan sinergi kebijakan lintas kabupaten/kota.
Pusat juga harus meninjau ulang kebijakan fiskal dengan prinsip keadilan. Efisiensi boleh menjadi pertimbangan, tapi tidak boleh mengorbankan fungsi strategis daerah. Daerah yang lemah bukan hanya menanggung beban sendiri, tapi juga memperlambat laju pembangunan nasional. Kabupaten dan kota, di sisi lain, harus memperkuat kapasitas fiskal dan inovasi. Ini waktu terbaik untuk memaksimalkan potensi pajak lokal, digitalisasi layanan, dan kemitraan dengan sektor swasta.
Otonomi daerah lahir dari semangat demokrasi: mendekatkan keputusan kepada rakyat. Jika demokrasi kehilangan keseimbangan dan otonomi kehilangan daya, maka yang goyah bukan hanya daerah, tetapi seluruh bangunan republik.
Pemangkasan dana pusat memang mengguncang, tetapi seharusnya juga menggugah. Daerah harus berani menatap masa depan dengan inovasi, bukan keluhan. Dan pusat harus ingat, kekuatan negara justru tumbuh dari daerah yang berdaya.
Seperti kata Bung Hatta, “Otonomi bukan untuk memisahkan diri dari negara, tetapi agar negara lebih dekat dengan rakyat.” Kini, kita harus memastikan kalimat itu tetap hidup di tengah gelombang kebijakan fiskal yang berubah.
Tentang Penulis:
Dr. Ijang Faisal, M.Si adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung dan pemerhati kebijakan publik, dan komunikasi pemerintahan.







Komentar