KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) – Pasca pandemiCOVID-19 perekonomian Indonesia mengalami perbaikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statisik petumbuhan ekonomi (PE) Indonesia pada 2023 mencapai 5,05%. Angka ini lebih baik dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022 di mana masing-masing mencapai 2,07% 3,69% dan 5,31%.
Namun, perbaikan ekonomi ini dianggap tidak sejalan dengan pertumbuhan industri dalam negeri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Di Provinsi Jawa Barat misalnya, makin banyak industri gulung tikar di sektor TPT.
Pengamat Ekonomi dari Univesitas Pasundan, Acuviarta Kartabi mengatakan bahwa di Jawa Barat perekonomian memang angkanya bagus, tapi ketika melihat ke lapangan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri.
“Jika sektor ini terus terganggu maka akan banyak hal terjadi. Misalkan, banyak PHK di industri jelas pendapatan banyak masyarakat tak punya penghasilan dan konsumsi rumah tangga pun mau tak mau pasti menurun,” kata Acuviarta dalam diskusi bersama Ikatan Wartawan Ekonomi dan Bisnis (IWEB) di Kota Bandung, Kamis (27/6/2024).
Dia menuturkan, data BPS di Jawa Barat memperlihatkan semakin banyak impor masuk ke provinsi ini. Tingginya produk impor bisa jadi lebih tinggi karena banyak barang yang turunnya tidak di Jawa Barat, misalkan di Jakarta atau Surabaya, kemudian dibawa melalui jalur darat ke provinsi ini.
Selain banyaknya impor yang sangat mudah masuk ke dalam negeri, Acuviarta menilai bahwa minimnya investasi yang bisa menunjang industri dalam negeri juga jadi persoalan lain. Alhasil produk dari Indonesia jadi kalah saing dibandingkan negara persaing.
Dalam diakusi yang sama, persoalan turunya kinerja industri dalam negeri diakui Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana. Dia menuturkan TPT saat ini menjadi sektor yang sangat tertekan dengan kemudahan izin impor dari Kementerian Perdagangan.
Menurutnya, BPS sudah merilis bahwa saat ini semakin banyak impor masuk ke dalam negeri khususnya barang siap pakai. Sementara impor bahan baku yang selama ini digunakan oleh industri angkanya perlahan menurun.
Pada 2021 dari total struktur impor di Jawa Barat saja sudah mencapai 11,99 miliar dolar AS di mana impor konsumsi mencapai 6,56%, barang modal 10,94%, dan bahan baku/pemolong 82,50%. Kondisi ini kemudian berubah signifikan pada 2023 di mana impor mencapai 12,30 miliar dolar AS dengan sektor konsumsi mencapai 9,51%, barang modal 12,32%, dan bahan baku hanya 78,17%.
“Dari sini saja bisa kita tahu kalau barang yang dikonsumsi warga itu naik angknya. Sedangkan bahan baku terus turun padahal bahan baku ini kan biasanya dipakai industri dalam negeri untuk menghasilkan barang tertentu,” ujarnya.
Belum lagi pada persoalan produk remeh temeh yang mulai banyak masuk ke Indonesia termasuk Jawa Barat seperti adanya kain rajutan. Kemudian ada juga kenaikan impor plastik, dan filamen buata. Padahal barang-barang ini sebelum tahun 2020 masih banyak diproduksi di Indonesia.
“Dulu produk seperti ini bisa diproduksi massal di kita sendiri. Artinya kan memang pemerintah kita ini lebih doyan impor,” ungkap Danang.
Ketua Tim Neraca BPS Jabar Yuni Anggoro menjabarkan, pertumbuhan ekonomi di Jabar memang masih baik. Pada kuartal I 2024 PE Jabar mencapai 4,93%, hanya sedikit di bawah angka nasilnal 5,11%. Industri masih menjadi sektor yang memberikan pendapatan tinggi pada Jabar mencapai 41,87%, kemudian perdagangan 14,43%, dan pertanian 8,44%.
Khusus Sub industri pengolahan, industri mesin dan perlengkapan angkanya masig tinggi mencapai 82,59%. Kemudian ada industri TPT 58,81%, barangg logam, elektronik, dan listrik 52,19%, serta alat angkutan 46,68%.
Yuni menuturkan, angka ekspor di Jabar memang masih lebih tinggi dibandingkan angka impor. Pada 2023 ekspor dari provinsi ini mencapai lebh dari 2,5 miliar dolar AS, di mana impornya sekitar 1,1 miliar dolar AS.
Meski demikian, dia meminta pemerintah tetap waspada karena ada peningkatan impor barang. Tata kelola importir pun harus diperbaiki agar memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas industri domestik dan mendukung peningkatan kualitas produk.
“Pembahasan dan pengkajian regulasi dan kebijakan sektor industri perlu melibatkan berbagai pihak. Kerja sama pemerintah dan pelaku industri serta berbagai pihak dalam kebijakan ekspor dan impor perlu terus dilakukan,” kata Yuni. (Pun)***