“Istana Para Dewa”, Satu Klenteng dengan Dua Vihara

VIHARA Satya Budhi yang terlatak di Jalan Klenteng Kota Bandung dikenal sebagai salah satu klenteng tertua di kota berjuluk Parijs van Java ini.  Pada dasarnya, bangunan ini merupakan sebuah kompleks yang di dalamnya terdapat satu klenteng dan dua vihara.

Klenteng ini awal mulanya dikenal dengan nama Hiap Thian Kiong dalam (bahasa Hokkian), tetapi dalam (bahasa mandarin) disebut dengan Xie Tian Gong yang artinya adalah “Istana Para Dewa”. Klenteng ini dipelopori oleh Kapiten Tionghoa ke-2 di Bandung yang bernama Tan Hij Haap dan masyarakatnya pada tahun 1885. Setelah tahun 1885, pada klenteng ini dilakukan beberapa renovasi. Renovasi pertama dipimpin oleh anak yang bernama Tan Joen Liong pada tahun1908 kemudian secara berkala hingga pada tahun 1985.

“Pada tahun 2019 di klenteng ini sempat terjadi kebakaran ketika Imlek,”  ucap Kristanto Kurniawan selaku edukator bagi pengunjung di Kawasan Vihara Satya Budhi. Menurut Tanto –panggilan Kristanto– kebakaran terjadi diduga karena penyebabnya oleh lilin dan dipenuhi api merah yang memakan seluruh isinya. Setelah api merah menghanguskan bangunan tersebut, maka dilakukan restorasi. Restorasi adalah upaya pembangunan yang harus mengembalikan bentuk bangunan seperti pada saat awal didirikan.

Dalam informasinya, Tanto menceritakan,  Vihara Satya Budhi ini pada zaman dahulu adalah klenteng, perubahan ini dilakukan saat transisi Orde Lama dan Orde Baru yang diawali dengan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu kemudian menghilangkan hal-hal yang berbau Tiongkok. Maka dari itu istilah klenteng pun tidak lagi ada dan di-Indonesiakan menjadi vihara.

PRASASTI di dinding vihara yang mengandung nilai ajaran dan pendidikan.*

“Iya gara gara peristiwa G30SPKI, istilah klenteng pun tidak lagi ada dan diubah menjadi vihara. Karena klenteng itu kan basis nya Tri Dharma yang terdapat Buddha. Karena Buddha diakui di Indonesia, dan vihara-lah menjadi tempat ibadah umat Buddha adalah vihara,” kata Tanto.

Vihara dan klenteng yang berada di Kawasan Satya Budhi termasuk ke dalam kategori tradisional karena dibangun sebelum tahun 1945, sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Klenteng itu sendiri mempunyai 3 aliran dalam satu wadah, yaitu Tri Dharma yang dianut oleh orang Tiongkok zaman dahulu. “Coba deh cari aja vihara yang dibangun setelah kemerdekaan, pasti tidak ada klentengnya, “ ujar Tanto lagi.

Klenteng ini mengikuti aliran Tri Dharma yaitu Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Buddha sendiri diakui oleh Indonesia sebagai agama yang mengajarkan lebih menitik beratkan hubungan antara manusia dengan alam setelah manusia hidup. Dan Taoisme mengajarkan hubungan manusia dengan alam, sedangkan kalau Konfusianisme mengajarkan hubungan antar manusia, mengajarkan berbakti kepada orangtua, kepada leluhur dan seterusnya.

“Kawasan Setya Budhi mewadahkan 3 aliran tersebut di dalam klenteng, dan vihara untuk Buddha yang diakui di Indonesia untuk ibadahnya tersendiri,” katanya.

Tiga bangunan

Kawasan Satya Budhi memiliki tiga bangunan yang terdiri dari dua vihara di sisi kanan dan sisi kiri yang menghapit satu klenteng di tengahnya. Vihara sebelah kanan dari pintu masuk bernama Samudera Bhakti yang dikhususkan untuk anak-anak dan sebelah kiri dari pintu masuk bernama Vihara Buddha Gaya dikhususkan untuk umat dewasa. Kedua bangunan mengapit klenteng tradisional yang bernama Hiap Thian Kiong.

JALANAN  bertangga dan tidak simetris yang memiliki makna tertentu.*

Ternyata, banyak arti dari beberapa instrafuktur yang belum kita ketahui dalam kepercayaan Tionghoa ini. Saat memasuki kawasan Satya Budhi, pengunjung disambut dengan jalanan yang tidak rata ataupun bertangga. Jalanan yang tidak rata ini memiliki arti  ketika masuk ke klenteng hindari  membawa masalah hidup ke dalamnya. “Contohnya kalo orang bengong lagi banyak masalah dia bisa kesandung dan sadar lagi kan. Itu dia fungsi jalanan ini” ucap Tanto selaku edukator di Kawasan Satya Budhi

Lalu setelah melewati jalanan bertangga dan tidak simetris kita di sambut oleh dua patung singa di depan pintu masuk. Patung ini memiliki arti kekuatan, keberanian, martabat, dan kewibawaan. Sepasang singa ini bisa dibedakan antara betina dan jantan dengan benda apa yang dipegang. Kalau jantan memegang tongkat atau bola, sedangkan betina memegang anak. “Patung ini bukan hanya di klenteng doang. Biasanya ada di macam-macam bangunan seperti juga bisa di rumah” ucap Tanto.

PATUNG dua singa di dalam klenteng.*

Di dalam klenteng, terdapat banyak hiasan berupa mural di tembok tembok ataupun di hiasan lainnya. Mural ini memiliki makna pembelajaran tersembunyi karena fungsi klenteng itu sendiri pada zaman dahulu memang dijadikan tempat pendidikan, ibadah, dan sarana berkumpul untuk membuat keputusan. “Mural-mural ini sudah ada dari  dulu. Ada makna yang sembunyi untuk belajar,” ucapnya menambahkan. ***

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan yang mengikuti perkuliahan Media dan Agama (Haikal Safron, Deandra Saskia, Arienda Najlaa, Khansa Nabilah, dan Aldo Julian) melakukan peliputan jurnalistik beberapa waktu lalu. Feature ini adalah salah satu karya yang dihasilkan mereka.*

 

Komentar