MUKTAMAR Muhammadiyah dan Aisyiah ke-48 dijadwalkan berlangsung di Kota Solo, Jawa Tengah pada 18-20 November 2022 ini. Upacara pembukaan di Stadion Manahan akan dihadiri Presiden Joko Widodo dengan disemarakkan kehadiran 2.500 peserta dan sekitar 10.000 penggembira muktamar.
Di kota ini pula pada tanggal 7-11 Desember 1985 diselenggarakan Muktamar Muhammadiyah ke-41. Muktamar pada 37 tahun lalu itu disebut sebagai muktamar terbesar sejak Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912. Terbesar dalam artian jumlah peserta resmi dan penggembira, namun bisa pula terbesar dalam permasalahan yang dihadapi persyarikatan ini dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat itu penyelenggaraan muktamar sempat tertunda 5 tahun karena Muhammadiyah membutuhkan waktu untuk merumuskan tentang penerimaan asas tunggal yang digulirkan oleh pemerintah waktu itu. Namun pada akhirnya peserta muktamar Muhammadiyah mampu bersepakat menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan sejumlah argumen yang sangat logis.
Penilaian bahwa Muktamar Muhammadiyah ke-41 tersebut merupakan muktamar terbesar bukan merupakan penilaian asal-asalan. Sebab hal itu resmi tercatat dalam buku berjudul “Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar” yang diberi kata pengantar oleh Dr. M. Amien Rais dan Drs. M. Rusli Karim sebagai editor. (CV Rajawali, Mei 1986).
Mengawali kata pengantarnya, Dr. M. Amien Rais yang pernah menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua MPR RI pada awal reformasi itu menulis begini;
“Muktamar Muhammadiyah ke-41 yang berlangsung di Kota Solo pada akhir 1985, oleh kebanyakan anggota Muhammadiyah sendiri maupun para pengamat, dianggap sebagai muktamar terbesar sejak Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912. Sebagai organisasi dan gerakan Islam terbesar tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia, Muhammadiyah selalu menjadi sasaran sorotan dari umat Islam pada khususnya dan masyarakat awam pada umumnya. Perhatian masyarakat yang begitu besar juga nampak menjelang dan sesudah Muhammadiyah menyelenggarakan muktamarnya di Kota Solo tersebut, ketika organisasi Islam reformis ini mendekati usia tiga perempat abad”.
Mengamati dengan cermat
Amien Rais menyatakan tidak mudah menjawab pertanyaan, mengapa saat itu terdapat perhatian besar baik dari dalam negeri maupun mancanegara terhadap jalannya Muktamar Muhammadiyah ke-41. Meskipun demikian tokoh reformasi itu mengemukakan beberapa jawaban.
Pertama, mereka yang tergolong orang-orang “luar” (non-Muslim) mempunyai kepentingan untuk terus mengamati jalannya Muhammadiyah. Langsung atau tidak langsung langkah apa pun yang diambil Muhammadiyah akan mempunyai dampak pada kehidupan dan pertumbuhan mereka juga.
Kedua, kaum Muslimin pada umumnya menaruh perhatian sangat besar pada Muhammadiyah berhubung keberhasilan atau kegagalan Muhammadiyah dalam merealisasikan aspirasi tajdid-nya akan berarti keberhasilan atau kegagalan mereka pula.
Ketiga, masyarakat Indonesia pada umumnya juga ikut merasa bertanggung jawab terhadap masa depan Muhammadiyah. Sumbangan Muhammadiyah pada sektor pendidikan, pelayanan sosial dan kesehatan, kehidupan keagamaan, pembangunan moral atau akhlak bangsa Indonesia, kepemudaan serta sektor-sektor kehidupan lainnya tidak dapat dibantah oleh siapa pun.
Keempat, dunia Islam dan para pemimpin Islam dunia selalu memperhatikan perkembangan Islam di Indonesia, dan Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang mereka paling kenal. Selain Muhammadiyah telah memiliki cabang-cabang di Singapura dan juga Malaysia, sepak terjang Muhammadiyah selalu diikuti oleh dunia Islam dengan seksama.
Kelima, muktamar ke-41 itu sendiri menjadi sangat istimewa karena telah tertunda selama 5 tahun akibat pembicaraan yang panjang antara tokoh-tokoh Muhammadiyah itu sendiri dan antara Muhammadiyah dengan pemerintah mengenai asas tunggal.
Muhammadiyah ke depan
Saat muktamar ke-41 akhir 1985 itu Muhammadiyah tercatat memiliki 13.201 sekolah sejak jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Rinciannya, 3.000 TK, 4.000 SD, 960 Madrasah Diniyah, 2.300 SMP, 2.900 SMA, 38 Madrasah Mualimin/Mualimat, 6 pondok pesantren luhur/pesantren tinggi setingkat universitas, dan 41 perguruan tinggi.
Kini, 2022, Muhammadiyah mempunyai 23.000 pendidikan usia dini (PAUD) dan TK, 348 pondok pesantren, ribuan pendidikan dasar dan menengah, 163 universitas, 119 rumah sakit, dan 600 klinik.
Capaian Muhamamdiyah dan Aisyiah di bidang pendidikan dan kesehatan itu menunjukkan bahwa Muhmamadiyah justru semakin maju dan solid, bukan pecah seperti pernah dikhawatirkan menjelang muktamar ke-41 di Solo tersebut.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, dengan amal usaha yang tidak sedikit itu, diharapkan Muhamamdiyah dapat menjadi teladan bahwa Islam adalah dinul amal atau Islam adalah agama amaliah. “Islam sebagai dinul amal itu puncaknya nanti adalah Islam sebagai dinul hadharah, Islam menjadi agama peradaban yang maju yang kemudian kita sebut sebagai Islam Berkemajuan. Keberadaan amal usaha Muhammadiyah merupakan upaya Muhammadiyah menjadikan umat Islam dan bangsa Indonesia setara dengan bangsa lain yang lebih maju,” kata Haedar Nashir. (Akhlanudin, gema.uhamka.ac.id, 18/7/2021)
Dewasa ini gerakan dakwah pencerahan Muhammadiyah sudah merambah mencanegara dengan berdirinya cabang-cabang istimewa, organisasi saudara (sister education), dan juga lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Malaysia di Perlis, Muhammadiyah College di Melbourne, Australia, dan Sekolah Muhammadiyah untuk pengungsi Palestina di Lebanon.
Untuk meningkatkan capaian tersebut dan menjawab tantangan zaman baru, Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), Prof. Dr. Din Syamsusdin, menilai kepemimpinan pusat Muhammadiyah meniscayakan kepemimpinan yang responsif, transformatif, dan independen. Untuk itu PP Muhammadiyah periode 2022-2027 perlu ditambah dengan “darah segar” yang dinamis dan progresif. (kabarsiyasah.com, Sabtu, 29/10/2022) (Widodo Asmowiyoto, Dewan Redaksi TuguBandung.id)***
Komentar