UPI Harus Kokoh Sebagai Kampus Tanpa Kekerasan

KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) – Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Prof Dr Elly Malihah, MSi terpilih sebagai salah satu dari tujuh anggota Tim Panitia Seleksi Satuan  Tugas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Pendidikan Indonesia.

PROF Dr Elly Malihah, MSi.*

Doktor sosiologi perempuan pertama di lingkungan UPI tersebut ditunjuk sebagai koordinator dari tim pansel. Hal itu bukan tanpa sebab. Selama ini, Prof Elly Malihah dikenal memiliki atensi dan komitmen kuat di bidang pemberdayaan dan perlindungan anak dan perempuan. Perempuan kelahiran Bogor, 26 April 1968 ini pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Kajian Dan Pengembangan Peranan Wanita/ Gender Dan Perlindungan Anak (PKPPWA).

Pusat kajian ini fokus pada isu-isu mengenai perempuan, gender dan perlindungan anak. Kini, meski sudah tak lagi memimpin PKPPWA, Elly Malihah tetap memiliki komitmen kuat untuk terlibat dalam isu, program, maupun beragam aksi sebagai wujud hadirnya kampus pendidikan tinggi tanpa kekerasan.

Dalam orasinya yang dikutip banyak media beberapa waktu lalu, Elly Malihah yang kini menjabat sebagai Sekretaris Senat Akademik UPI pernah menegaskan bahwa kampus UPI harus mengokohkan diri sebagai kampus tanpa kekerasan.

Dalam pidato yang disaksikan secara daring oleh kurang lebih 10.000 mahasiswa baru UPI ketika itu, Elly menyampaikan tiga poin penting terkait kampus tanpa kekerasan, yaitu latar belakang kampus tanpa keke­rasan, pentingnya membangun kampus tanpa kekerasan, serta kebijakan UPI yang mendukung terciptanya kampus tanpa kekerasan.

Dia mengatakan, maraknya tindakan kekerasan, khususnya di lingkungan kampus, menjadi salah satu alasan munculnya gerakan kampus tanpa kekerasan. Kampus sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan seharusnya memiliki iklim yang kondusif bagi sivitasnya.

”Semestinya, kampus merupakan tempat menimba ilmu pengetahuan yang harus memiliki iklim kondusif sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan,” kata Elly  ketika itu.

Kini, ia tetap berteriak lantang bahwa UPI memang harus kokoh dalam mewujudkan diri sebagai kampus nirkekerasan. “Nilai-nilai akademis itu paralel dengan hadirnya prinsip berketuhanan, kejujuran, non-diskriminasi, berkeadilan, dan juga menghargai nilai-nilai keberagaman. Oleh karena itu, tidak pada tempatnyalah kampus justru menjadi tempat tersemainya praktik kekerasan dalam beragam bentuknya,” kata Elly.

Maraknya tindakan kekerasan di masyarakat, khususnya di lingkungan kampus, menjadi salah satu alasan munculnya gerakan ini. Selain itu, kampus sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan harus memiliki iklim yang kondusif bagi sivitasnya. “Semestinya, kampus merupakan tempat menimba ilmu pengetahuan yang harus memiliki iklim kondusif sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai yang diharapkan,” jelas Elly Malihah.

Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menjadi perhatian utama dalam mewujudkan kampus nir kekerasan. Namun, tidak luput juga jenis kekerasan lainnya, seperti kekerasan verbal, kekerasan fisik, maupun kekerasan simbolik. Beragam jenis tindakan kekerasan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi korban, mulai dari kehilangan semangat kuliah, hingga mengalami depresi. Ia juga menekankan tidak adanya toleransi terhadap perilaku kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Terkait Permendikbu Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), menurut Elly Malihah, UPI sudah pada jalur yang sama. Bahkan, sebelum terbitnya aturan tersebut, dalam mendorong terkokohkannya kampus tanpa kekerasan, UPI  mengeluarkan beberapa kebijakan pendukung, seperti yang tertuang dalam Peraturan Senat Aka­demik Universitas Pendidikan Indonesia Nomor 001/SENAT AKD./UPI-HK/­II/­2014 tentang Disiplin Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Pasal 19. Keputusan Senat Akademik Universitas Pendidikan Indonesia Nomor 01/Senat Akd./UPI-SK/V/­2008 tentang Kode Etik Dosen Univer­sitas Pendidikan Indonesia Pasal 5 dan 13.

UPI juga memiliki Pusat Pendampingan Krisis yang dapat menjadi wadah bagi korban keke­rasan, baik itu seksual maupun nonseksual, untuk melaporkan tindakan kekerasan  agar dapat ditindak lanjut.

“Bagi kami di UPI, terbitnya Permen PPKS ini menjadi bagian yang memperkuat dan memperinci bentuk tindakan yang dapat diambil dalam menghadapi dan khususnya mencegah praktik kekerasan seksual di lingkungan kampus. Itu yang terpenting,” katanya menegaskan. ***

 

 

 

Komentar